Liberalisasi Pendidikan: Paradigma Pendidikan yang Berorientasi Pasar

Liberalisasi Pendidikan: Paradigma Pendidikan yang Berorientasi Pasar – “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” ― Tan Malaka

Dari apa yang dikatakan Tan Malaka nampaknya kita semua paham betapa pentingnya pendidikan. Bukan hanya soal life skill atau orientasi pekerjaan, tetapi bagaimana kita menjadi manusia yang manusiawi.

Pendidikan memang sudah seharusnya menjadi hak yang mendasar bagi manusia dan semua kalangan harus diberikan akses untuk mendapatkannya, merasakan kelas-kelas formal dan dididik oleh guru professional.

Namun, apakah di Indonesia hari ini penyelenggaraan sekolah atau perguruan tinggi dapat diakses oleh semua masyarakat? Khususnya masyarakat miskin dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan? Saya ragu, karena adik saya hanya mampu sekolah sampai dia lulus SMA saja dengan alasan tidak ada biaya untuk sekolah urangkampoeng.com di tingkat perguruan tinggi.

Pendidikan bukan untuk dijual!

Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, mengatakan bahwa pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Artinya sangat jelas, bahwa pendidikan di Indonesia hari ini diibaratkan sebuah komoditas perdagangan dan ladang untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan, karena logikanya orang waras mana yang tidak paham dengan makna ‘penanaman modal’?
Hari ini bisa kita rasakan dengan mahalnya biaya pendidikan di tingkat SMA/SMK dan khususnya perguruan tinggi ketika masa-masa pendaftaran. Banyak mahasiswa baru yang tidak mampu membayar uang pendaftaran karena tingginya biaya sehingga gagal untuk melanjutkan kuliah.

Di sekitar kita mungkin akan banyak yang mengatakan “kan ada beasiswa ini, beasiswa itu, pemotongan biaya ini, pemotongan biaya itu,..” dan lain sebagainya. Tidak salah memang, tetapi saya rasa pertanyaan mereka tetap akan terlihat pandir ketika dibenturkan dengan Perpres No. 77 Tahun 2007, ditambah kondisi hari ini yang memang membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat yang tidak lanjut kuliah beralasan masalah finansial.

Kebetulan kampus saya bersebelahan dengan sebuah terminal. Ketika saya naik bus di terminal tersebut atau hanya sekadar melewati terminal tersebut, banyak anak-anak dengan usia sekolah yang menjadi pengamen di jam-jam sekolah atau ada juga yang menawarkan minuman dan makanan ke orang-orang di terminal tersebut.

Contoh lain bisa saya lihat di hampir semua titik lampu lalu lintas di kota tempat kampus saya berdiri.

Anak-anak remaja yang harusnya merasakan duduk di bangku sekolah formal, malah mencoba menghibur para pengendara yang sedang berhenti menggunakan lagu-lagu dan suara gitar mereka. Bagi mereka, urusan perut dan pendidikan merupakan pilihan yang tidak mampu didapat keduanya. Pemerintah hari ini seolah lupa dengan kalimat “Fakir Miskin dan Anak-anak telantar dipelihara oleh Negara”.

Keikutsertaan Indonesia dengan World Trade Organization (WTO) berdampak besar terhadap komersialisasi pendidikan di negeri ini. Di bawah kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS), WTO telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa, berdampingan dengan kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang melimpah. Salah satu misi WTO membuahkan hasil pada tahun 2001 ketika pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa GATS dari WTO, di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kondisi ini tentu akan membuat pendidikan menjadi sebuah barang mewah bagi masyarakat kelas bawah. Kantong mereka dihisab dengan alasan pendidikan di sebuah negara yang salah satu cita-citanya ialah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Pola pendidikan yang liberalis tentu akan mempengaruhi paradigma bahwa pelajar merupakan calon-calon tenaga kerja potensial yang berorientasi pada pasar kapitalistik. Para investor dan negara tentu akan berharap produk manusia yang berasal dari sekolah-sekolah formal nantinya akan siap berkorban demi untungnya pasar-pasar mereka.

Pendidikan hari ini yang berorientasi pada industri melupakan hakikat dari pendidikan itu sendiri. Liberalisasi pendidikan membuat para pelajar lupa, bahwa pendidikan harusnya mampu membuat manusia menjadi ibu dari manusia lainnya, pendidikan bukan hanya soal uang namun pendidikan merupakan alat perjuangan.

Baca juga: Menghindari Plagiarisme dalam Dunia Pendidikan

Hari Pelajar Internasional dan makna di baliknya

Dalam rangka memperingati Hari Pelajar Internasional nanti yang jatuh pada tanggal 17 November, tentu harus kita jadikan momentum tersebut untuk kembali mengingat makna dari pelajar dan pendidikan itu sendiri.

Perjuangan para pelajar Ceko dalam menentang kediktatoran Adolf Hitler yang sangat represif dan ekspansif yang kemudian menginspirasi pecahnya Revolusi Cekoslovakia yang saat itu sosialis menjadi demokratis tentu membuktikan bahwa betapa besar pengaruh pelajar terhadap kondisi sosial tertentu.

Tinggal bagaimana negara membentuk para pelajar tersebut dan bagaimana para pelajar tersebut berpikir.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *