Sekolah Digital Sebuah Keniscayaan

Sekolah Digital Sebuah Keniscayaan – Selintas saya menatap ada tiga orang guru di sebuah ruangan laboratorium komputer yang sedang asyik melakukan zoom meeting. Saya mencoba mengintip apa yang mereka lakukan, ternyata mereka adalah peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG), yaitu suatu pendidikan untuk mendapatkan sertifikat kompetensi bagi seorang guru dan akan mendapatkan tambahan gelar Gr di belakang namanya.

Anehnya, walaupun berada dalam satu ruangan, namun mereka berbeda jurusan dan juga berbeda perguruan tingginya. Mereka adalah guru geografi, guru bahasa indonesia, dan guru bahasa sunda, dengan perguruan tinggi masing-masing adalah UNSIL, UNPAK dan UPI Bandung. Suatu penomena yang sudah dianggap biasa namun sebetulnya tidak biasa, jika kita melihat penomena ini sekitar dua tahun kebelakang urangkampoeng.com yaitu sebelum adanya pandemi COVID-19.

Nampak keseriusan dalam wajah mereka, saya perhatikan jarang mereka untuk membolos dari tatapan zoom meeting kecuali ketika mereka ingin buang hajat atau ketika waktunya istirahat, itu pun atas izin mentor atau gurunya, dengan raise hand di zoom meeting dan tidak lupa meninggalkan pesan di kolom chat zoom meeting, “izin kebelakang ya”.

Entah itu sebuah etika, atau sebuah ungkapan ketakutan dianggap bolos oleh mentornya. Saya positif thingking saja, itu adalah sebuah etika dalam bertatap maya yang dilakukan oleh mahasiswa yang notabene merupakan orang dewasa. Yang tentunya sudah memiliki sebuah tanggungjawab pendidikan yang sedang mereka lakukan.

Polanya ternyata sama, pembelajaran yang mereka lakukan adalah menggunakan pola sinkronus dan asinkronus. Selain bertatap maya lewat aplikasi zoom dan sejenisnya, juga mereka melakukan pembelajaran lewat Learning Management System (LMS). Hiruk pikuk pembelajaran seperti ini dianggap memudahkan proses pembelajaran dan lebih hemat pembiayaan, baik untuk peserta maupun untuk penyelenggara.

Dalam masa pandemi COVID-19 pembelajaran anak-anak sekolah semua dirumahkan, anak-anak sekolah mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi melaksanakan pembelajaran daring. Anak-anak yang belum dewasa cenderung kurang bertanggungjawab dalam melakukan pembelajaran daring tersebut. Bagi seorang guru SMP atau SMA seperti saya, hanya untuk menyuruh siswa on camera saja perlu energi yang luar biasa. Apalagi melakukan pengkondisian lain berkaitan dengan pembelajaran afektif dan psikomotorik.

Kendala lain untuk anak-anak yang belum dewasa seperti anak-anak TK dan SD harus sepenuhnya didampingi orang tuanya. Kalau tidak, maka pembelajaran sangat sulit untuk terkendalikan. Anak-anak akan lebih memilih nonton TV, youtube, main game atau sejenisnya daripada mendengarkan pembelajaran dari gurunya, yang menurut mereka tidak lebih mengasyikan daripada tontonan atau permainan yang mereka sukai.

Efektivitas pembelajaran daring ini sebetulnya sudah harus bisa dibaca oleh pemangku kepentingan.

Sehingga akan mengeluarkan kebijakan yang semestinya tidak disamakan untuk semua tingkatan. Bagi anak yang belum dewasa, diperlukan pembimbingan langsung oleh tutornya, apakah itu gurunya atau orang tuanya di rumah.

Itulah perubahan yang menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah perubahan yang akan terus berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan jaman, bukan hanya karena adanya pandemi saja, namun dunia digital akan terus berkembang. Sehingga tidak ada lagi ruang-ruang kelas yang megah untuk pembelajaran, ruang-ruang kantor yang penuh dengan aksesoris administrasi dan tidak ada lagi toko-toko besar yang penuh dengan barang-barang dagangannya.

Perkembangan itu perlu disikapi dengan serius oleh pemangku kepentingan, jangan sampai generasi kita kedepan menjadi korban kesalahan kebijakan pemangku kepentingan dalam membuat rencana strategis bagi masa depan mereka. Sehingga secara kompetensi bisa bersaing dengan dunia luar, dan secara karakter tetap menjunjung nilai-nilai luhur karakter bangsa Indonesia.

Pendidikan formal yang memungkinkan untuk dilakukan secara digital perlu pengkajian dan perencanaan yang matang. Baik secara sistem tata aturan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan-peraturan turunan lainnya.

Pendidikan karakter akan menjadi sebuah pondasi dari peradaban dari suatu bangsa. Pendidikan karakter ini akan dengan mudah diterapkan jika dimulai dari semenjak anak berada pada kandungan ibunya, bagaimana sang ibu melakukan hal-hal baik, memakan makanan yang halal dan sehat, membelajarkan anaknya dengan banyak membaca alquran, bertutur kata dan bertindak yang sesuai dengan norma agama, dan etika.

Ketika anaknya sudah lahir ke alam dunia dan tumbuh berkembang, dimulailah fungsi-fungsi panca indera difungsikan, begitu juga fungsi hati, akal, perasaan dan kepercayaan mulai tumbuh dan berkembang.

Mulailah kita melihat anak-anak tertawa, menangis, marah, berlindung, cari perhatian, bertanya, bergaul, bermain, berantem dan aktivitas-aktivitas lainnya sebagaimana aktivitas anak pada umumnya.

Semuanya adalah sebuah proses pembelajaran yang harus dikawal dengan baik dan benar sehingga usia yang disebut dengan golden age tidak tersia-siakan.

Mungkin kita melihat anak-anak mungil usia 0-6 tahun sehariannya bermain gadget, mulai dari bangun tidur, makan dan menjelang tidur kembali, tidak bisa lepas dari gadget tersebut. Ya, jaman memang sudah berubah, tidak bisa kita menghindar dari jaman yang memang sudah jamannya.

Kita hanya bisa mengarahkan, mengontrol dan memfasilitasi anak-anak kita, sebagaimana jaman kita dahulu waktu kecil, ketika permainan kelereng atau layangan menjadi sebuah primadona anak-anak waktu itu, orang tua kita tidak melarang, namun mengontrol, memfasilitasi dan juga membatasi, jangan sampai kebablasan dalam kesehariannya.

Saya termasuk orang yang tidak setuju untuk menjauhkan anak-anak dari gadget, namun bagaimana gadget itu bisa dijadikan sebagai sarana bagi anak untuk tumbuh kembang lebih baik lagi. Menjauhkan anak dari gadget sama saja dengan menjauhkan anak kita dari jamannya. Tinggal sekarang bagaimana kita membuat sebuah grand design pola pendidikan anak dengan tanpa menjauhkan mereka dari gadget.

Perlunya pengaturan waktu, konten, dan pendampingan ketika anak-anak mengakses sesuatu dari gadgetnya. Orang tua sebagai pengendali penggunaan gadget anaknya, tentunya dengan suatu kesepakatan yang mengikat, akan meminimalisir dampak negative dari penggunaan gadget tersebut.

Bahkan dengan mudahnya mengakses situs-situs kebaikan yang diarahkan orang tuanya, akan lebih mudah mengeksplor pengetahuan anak dari dunia tanpa batas tersebut.

Beranjak pada umur 6-15 tahun atau masuk pada umur sekolah dasar (SD-SMP), penanaman karakter adalah hal sangat penting daripada sekedar belajar membaca atau menghitung. Oleh karena itu, pola pembelajaran daring saya anggap kurang relevan di jenjang ini.

Namun penggunaan media pembelajaran berbasis IT di sekolah harus tetap dibudayakan, dengan catatan guru mampu mengkonstruksi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan optimalsisasi perangkat IT yang ada.

Jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) siswa harus sudah mulai dibelajarkan untuk dewasa. Begitupun dalam pembelajaran di sekolah. Pengalaman pembelajaran pada masa pandemic COVID-19 harus menjadi sebuah pembelajaran yang berharga. Selain harus disiapkan pembelajaran di sekolah berbasis digital juga harus sudah mau dan mampu untuk belajar kapan dan dimana saja.

Bisa saja pemerintah, dan sekolah memberikan pola pembelajaran sistem blended learning atau hybrid model, sehingga pembiasaan pembelajaran student center yang sudah dipola dari jenjang sekolah dasar dapat dilanjutkan secara bertahap menuju kemandirian di jenjang sekolah menengah. Pada jenjang sekolah menengah ini pengawasan orang tua dalam pembelajaran sudah mulai kendor, dibanding dengan mereka pada jenjang dasar.

Penanaman pendidikan karakter tetap harus ditekankan walaupun polanya harus sedikit berubah dengan pendekatan yang berbeda karena siswa sekolah menengah sudah mulai mengalami perubahan hormonal, perubahan pola pikir menuju pola pikir orang dewasa.

Baca juga: Bunyi dan Makna Motto Universitas Brawijaya

Pada jenjang perguruan tinggi, pola-pola yang dikembangkan oleh kemendikbudristek dengan pola sinkronus dan asinkronus sebenarnya sudah bisa diterapkan dengan memilah mata kuliah tertentu sesuai karakteristiknya, ada yang cukup dengan sinkronus, atau hanya asinkronus saja atau bisa digabung keduanya.

Sehingga terlihat ada sebuah kesinambungan ketika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, siswa diperkenalkan dengan pembelajaran student center, tapi di perguruan tinggi pembelajaran kembali lagi menjadi dosen center.

Membangun budaya penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan menjalin hubungan dengan dunia kerja adalah suatu hal yang seharusnya dilakukan mahasiswa pada pembelajaran di perguruan tinggi.

Megahnya ruang-ruang bangunan kampus tidak akan begitu berarti ketika mahasiswanya sudah mampu keluar dari dunia kampus yang kaku.

Hadirnya kelas-kelas maya yang tidak terhalang oleh ruang dan waktu akan dapat mengakselerasi perkembangan ilmu pengetahuan mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat fokus pada persiapannya kiprah di masyarakat atau dunia kerja.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *