Masyarakat

Keluarga, Masyarakat, dan Sekolah Jadi Jawaban Pendidikan Humanis

Keluarga, Masyarakat, dan Sekolah Jadi Jawaban Pendidikan Humanis – Belakangan ini sering kita temui fenomena masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Baik kita temui di lingkungan sekitar secara langsung atau melihatnya melalui media sosial.

Maraknya kasus kekerasan seksual, KDRT, bullying, tawuran pelajar, gangster, minum-minuman keras, hamil di luar nikah dan fenomena lainnya yang sangat penting menjadi perhatian masyarakat terlebih pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

Fenomena yang baru saja terjadi adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok gangster yang meresahkan masyarakat kota Surabaya. Bukan lagi aksi saling serang antar kelompok, melainkan sudah meresahkan bahkan menakuti masyarakat.

Terdapat juga kekerasan seksual yang dilakukan pelajar SD, SMP, SMA. Berdasarkan data dari Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Sebanyak 117 pelajar disebut menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi di berbagai jenjang pendidikan sepanjang 2022. Dan masih banyak lagi fenomena dekadensi sosial

Tentu fenomena seperti ini harus diselesaikan secepat mungkin agar tidak terjadi lagi di kemudian hari, paling tidak menekan angka terjadinya tindakan urangkampoeng.com yang tidak patut untuk dilakukan generasi muda Indonesia.

Pendidikan Humanis yang Mengakar

Sebagai upaya untuk mengatasi fenomena kenakalan remaja, kekerasan seksual tentu hal paling fundamental adalah persoalan pendidikan. Sebelum jauh kita membahas fenomena masyarakat dalam beberapa tahun belakang ini. Mari kita merefleksikan bagaimana Pendidikan di Indonesia? Apakah selama ini sudah efektif atau tidak? Sejauh mana hasil daripada Pendidikan selama ini?

Sejenak kita lihat ke belakang, melihat bagaimana Pendidikan di Indonesia dari era sebelum kemerdekaan hingga era saat ini, apakah mengalami peningkatan dalam dunia pendidikan kita? Atau malah mengalami kemandegan atau jalan di tempat?

Pendidikan merupakan tempat yang sangat ideal untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan untuk mengangkat harkat serta martabat manusia ke tempat yang lebih mulia, selain itu dengan pendidikan manusia dapat memiliki kemampuan kognitif, dan kesiapan mental yang sempurna dan berkesadaran maju yang berguna bagi mereka untuk terjun ke masyarakat, menjalin hubungan sosial, dan memikul tanggung jawab mereka sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Pendidikan secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.

Namun demikian, nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam dunia Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat kontras dengan fenomena yang ada dalam realitas sosial masyarakat, karena proses pendidikan yang berlangsung saat ini menurut hemat penulis belum cukup berhasil dalam menciptakan generasi yang memiliki kemampuan akademik, serta akhlak yang baik, yang kemudian berdampak pada terciptanya perilaku yang sangat tidak terpuji.

Baca juga: Akses dan Model Pendidikan Kelas Ekonomi Bawah

Sehingga jangan heran jika saat ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, pemerkosaan, tawuran antar pelajar, narkoba, pergaulan bebas, dan berbagai penyimpangan lainnya yang bahkan di berbagai pemberitaan guru sebagai pendidik ikut melakukan perbuatan tidak terpuji.

Fenomena pendidikan dan realitas sosial masyarakat sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, harus ada sebuah solusi dari berbagai problem tersebut, dan salah satu solusinya adalah pendidikan humanis dan mengakar.

Menurut hemat penulis pendidikan humanis yang sinergis beberapa elemen yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat merupakan sebuah jawaban dari berbagai problem tersebut serta merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menjadi sebuah kegelisahan yang sangat mengganggu nurani.

Pendidikan untuk Suporter, Mustahil?

Pendidikan untuk Suporter, Mustahil? – Seluruh elemen masyarakat berduka atas tragedi Kanjuruhan. Kerusuhan suporter sepakbola di Indonesia seringkali terjadi, namun tragedi Kanjuruhan merupakan yang terbesar, bahkan masuk nomor urut ke-2 tragedi kerusuhan sepakbola dunia di bawah Estadio Nasional di Peru pada 24 Mei 1964 dengan korban meninggal sebanyak 328 jiwa. Sedangkan tragedi Kanjuruhan menelan korban meninggal sebanyak 131 jiwa.

Dalam tragedi kerusuhan suporter sepakbola polisi selalu terlibat di dalamnya karena memang tugas polisi adalah menjaga ketertiban. Kemudian muncul perdebatan di kalangan masyarakat yang menuding pihak kepolisian merupakan kelompok yang bertanggung jawab atas tragedi kerusuhan tersebut, di lain pihak ada tudingan bahwa suporter adalah kelompok yang harus bertanggung jawab atas kejadian kerusuhan.
Artikel ini tidak masuk dalam dua kelompok di atas untuk menyudutkat salah satu pihak. Namun tulisan urangkampoeng.com ini merupakan upaya untuk meracik solusi dalam sebuah permasalahan.

Model Pendidikan Behavioristik

Orang yang memopulerkan model pendidikan behavioristik adalah John Broadus Watson (1878-1958). Fokus kajian dalam model behavioristik adalah pemahaman pada perubahan perilaku yang diamati, dinilai secara akurat dan sesuai ukuran. Jadi objek kajian dari model ini adalah perilaku anak didik. Pikiran seseorang merupakan hasil refleksi dari lingkungan sekitar, sehingga kita bisa menerka pikiran seseorang dari gerak tubuh atau perilakunya. Contoh, kita bisa mengetahui seseorang sedang marah, kecewa, sedih, atau gembira dari raut muka.

Tolak ukur keberhasilan dalam model pendidikan ini adalah adanya perubahan perilaku di dunia nyata. Dengan kata lain, seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia menunjukkan perubahan perilaku di dunia nyata. Masih terkait model behavioristik, tokoh bernama Ivan Pavlov memperkenalkan teknik classical conditioning (teknik mengondisikan dengan cara konvensional). Ivan Pavlov melakukan percobaan pada sebuah anjing dalam empat tahap.

Pertama, ketika anjing diberi makan, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur. Tahap Kedua, memperdengarkan bel kepada anjing dan anjing tidak merespons. Tahap Ketiga, memperdengarkan bel sekaligus memberi makan, respons anjing yaitu mengeluarkan air liur. Tahap Keempat, memperdengarkan bel kepada anjing tanpa memberi makan, respons anjing yaitu mengeluarkan air liur. Tahapan ini dilakukan Ivan Pavlov secara berulang hingga mendapat hasil yaitu ketika memperdengarkan anjing dengan sendirinya mengeluarkan air liur.

Baca juga: Pendidikan Basmi Kemiskinan 

Penerapan Model Behavioristik untuk Suporter

Hewan dan manusia memiliki kesamaan dalam hal proses belajar. Misalnya ketika orang tua membiasakan anak untuk minta maaf setelah melakukan kesalahan, maka dengan sendirinya anak tersebut akan minta maaf jika melakukan kesalahan. Pendek kata, manusia bisa dikondisikan sedemikian rupa dengan proses dan tahapan yang benar.

Teori belajar Ivan Pavlov biasanya cocok digunakan untuk pembelajaran yang mengandung unsur spontanitas, kecepatan, kelenturan, mengetik, olahraga, bahkan aktivitas suporter yang membutuhkan kekompakan dan kreativitas. Selain itu, model belajar ini cocok digunakan untuk mengatasi candu.

Misalnya, seseorang yang obesitas karena candu dengan makanan cepat saji diberi informasi bahwa memakan makanan cepat saji secara terus menerus akan mengakibatkan obesitas dan masalah kesehatan. Secara bersamaan orang tersebut diberi makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, jika dilakukan secara bertahap orang tersebut akan terbiasa makan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Logika ini kurang lebih sama dengan orang yang sedang melakukan diet.

Lalu bagaimana cara menerapkan model belajar ini? Sebelum lebih jauh, kita harus mengetahui bahwa di setiap suporter biasanya ada capo atau pemimpin suporter. Capo seringkali memimpin nyanyian semangat atau memberi aba-aba ketika ada koreografi.

Suporter sepakbola biasanya merasa senang dan bangga ketika tim yang didukung menang, begitu juga sebaliknya, suporter biasanya merasa kecewa dan sedih ketika tim yang didukung mengalami kekalahan.
Untuk mengatasi rasa kecewa berlebihan pada suporter yang berujung pada anarki, capo atau pemimpin suporter bisa melakukan tiga hal. pertama, ketika tim yang didukung memasukkan gol ke gawang lawan capo memimpin suporter untuk menyanyikan lagi kemenangan.

Kedua, ketika gawang tim yang didukung kebobolan, capo memimpin suporter untuk menyanyikan lagu semangat. Ketiga, ketika tim yang didukung mengalami kemenangan atau kekalahan, capo memimpin suporter untuk menyanyikan lagu semangat.

Penerapan model seperti ini memang tidak selalu efektif, hasilnya akan bervariasi sesuai dengan problematika yang dihadapi. Dalam keterkaitan dengan dunia suporter, menurut saya Brigata Curva Sud suporter dari PSS Sleman merupakan bukti nyata bahwa sekelompok manusia dapat dikondisikan dan menghasilkan kreativitas dengan koreografi yang dibuat. Akhir kata saya masih percaya bahwa pendidikan merupakan cara paling manusiawi untuk keluar dari masalah.