Merdeka Belajar

Merdeka Belajar: Dehumanisasi dan Diskriminasi Pendidikan Indonesia

Merdeka Belajar: Dehumanisasi dan Diskriminasi Pendidikan Indonesia – Merdeka belajar merupakan program kerja baru yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang lebih mengedepankan konsep kemerdekaan dalam berpikir yang tidak hanya terkungkung pada satu tolak ukur keberhasilan. Program Merdeka Belajar merupakan kompas baru yang menjadi arah pendidikan ke depan.

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam menggagas ide Merdeka Belajar bukan dibuat tanpa landasan yang jelas, tapi melalui proses pematangan yang cukup panjang, melakukan kajian yang komprehensif dengan seluruh elemen pendidikan, dan dilatar belakangi oleh urangkampoeng.com keresahan pendidikan Indonesia.

Berangkat dari hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2019 memaparkan bahwa pendidikan di Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi sendiri, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 negara yang disurvei oleh Program for International Student Assessment (PISA).

Dalam terobosan ini juga mengedepankan pendidikan karakter anak dalam upaya memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan awal pendidikan untuk mencegah dehumanisasi pendidikan di Indonesia.

Sebagaimana dalam salah satu gagasan Mendikbud yang menghilangkan ujian nasional sebagai tolak ukur capaian kelulusan dalam mata pelajaran tertentu secara nasional, dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter.

Dehumanisasi ataupun tindakan untuk tidak memanusiakan manusia. Saat dimana orang lupa akan moral bersosial, menghiraukan kebaikan antar sesama manusia, dan seringkali melakukan tindakan intoleransi yang membuat perpecahan berujung pada perilaku akan merendahkan manusia tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Dehumanisasi merupakan keburukan terhadap nilai-nilai yang ada, yang cenderung mengabaikan kebenaran.

Maka, ketika dehumanisasi merambah pada budaya masyarakat Indonesia terlebih pada bidang pendidikan, yang muncul hanyalah sifat angkuh, dan kehilangan kebudayaan yang diwariskan oleh para pendahulu yang luhur. Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan untuk memajukan bangsa secara utuh dan keseluruhan tanpa membedakan agama, ras, agama, etnis, suku, budaya, status sosial, dan ekonomi yang berdasarkan pada cita-cita luhur bangsa.

Sejauh yang penulis lihat, realitas yang ada sebelumnya menggambarkan sistem pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik di lembaga pendidikan untuk mengembangkan potensi diri, kreativitas, serta penajaman nalar kritis yang seharusnya masing-masing individu memilikinya.

Sistem pendidikan juga cenderung diskriminatif, yang mana tolak ukur capaian kelulusan siswa adalah ujian nasional. Jika siswa tidak lulus ujian nasional, otomatis tidak bisa melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya. Padahal, tidak semua anak memiliki kecerdasan yang sama, tidak semua anak memiliki kecerdasan dalam mata pelajaran yang ada di ujian nasional.

Ada anak yang hanya memiliki kecerdasan kinestetik dan dipaksa oleh sistem pendidikan untuk bisa Matematika sebagai tolak ukur kelulusan. Itu merupakan bentuk diskriminatif terhadap anak, karena bukan bidang keahlianya.

Sepanjang dua belas tahun terakhir, ada beberapa anak yang terkena dampak dari diskriminatif ujian nasional. Dampak yang paling nyata adalah tingkat stress yang dialami oleh siswa dan orangtua yang tinggi. Sehingga tidak sedikit siswa yang bunuh diri akibat tidak lulus ujian nasional.

Setidaknya ada lima siswa yang menjadi korban diskriminatif ujian nasional, yaitu:

  1. Pada tanggal 27 April 2010, Wahyuningsih yang merupakan salah satu siswi di Muara Jambi mati karena racun tanaman, diduga bunuh diri lantaran tidak lulus UN Matematika.
  2. Pada tanggal 18 Mei 2013, Fanny Wijaya yang merupakan siswi SMP PGRI Pondok Petir, Depok mati gantung diri, karena khawatir tak lulus UN.
  3. Pada tanggal 6 Mei 2014, Leony Alvionita yang merupakan siswi SMP Negeri 1 Tabanan, Bali mati akibat mencekik lehernya sendiri dengan dasi seragam, diduga depresi setelah mengerjakan soal UN.
  4. Pada tanggal 10 April 2017, Amelia Nasution yang merupakan siswi SMK Negeri 3 Padangsidimpuan, Sumatera Utara mati meneguk racun, diduga diintimidasi oleh oknum guru lantaran korban mengunggah kecurangan UNBK di media social.
  5. Pada tanggal 2 Juni 2017, seorang siswi dengan inisial BDH, yang merupakan siswi SMP di Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah tewas gantung diri, diduga karena dimarahi orangtua akibat nilai ujian kelulusan yang tidak memuaskan.

Baca juga: Keluarga, Masyarakat, dan Sekolah Jadi Jawaban Pendidikan Humanis

Pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan karakter anak. Pendidikan seyogyanya menjadi tempat yang menyenangkan tanpa ada tekanan dari pihak manapun agar anak mampu menguasai diri untuk mengalahkan nafsu dan negative thinking. Sehingga terbentuk karakter anak yang berbudi pekerti luhur dan beradab.

Maka, peran guru sangat dibutuhkan sebagai garda terdepan pendidikan agar mampu menjadi teladan bagi siswa, guru juga sebagai yang memprakarsai siswa, dan guru juga berperan dari belakang untuk memberikan dorongan pada nara didiknya. Tetapi, acap kali sistem membatasi pergerakan dan nalar kritis guru dalam melakukan inovasi. Tak jarang oknum guru membunuh karakter siswa lantaran sistem pendidikan yang memaksanya untuk lebih mengutamakan nilai, karena banyak desakan berbagai macam pemangku kepentingan.

Disini penulis tidak menyalahkan guru, tapi penulis mengkritik sistem pendidikan yang diskriminatif dan dehumanisasi yang menghalangi petualangan guru. Tetapi sekali lagi, sistem menuntut guru agar semua anak harus memiliki kecerdasan yang sama. Selaras dengan kritikan Paulo Freire terhadap pendidikan bahwa sistem pendidikan gaya bank cenderung menjadikan seorang anak itu pasif, dan menjadikan guru itu active yang semua perkataannya harus ditelan mentah oleh siswa tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Karena murid harus menghafal semua apa yang dikatakan guru.

Liberalisasi Pendidikan: Paradigma Pendidikan yang Berorientasi Pasar

Liberalisasi Pendidikan: Paradigma Pendidikan yang Berorientasi Pasar – “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” ― Tan Malaka

Dari apa yang dikatakan Tan Malaka nampaknya kita semua paham betapa pentingnya pendidikan. Bukan hanya soal life skill atau orientasi pekerjaan, tetapi bagaimana kita menjadi manusia yang manusiawi.

Pendidikan memang sudah seharusnya menjadi hak yang mendasar bagi manusia dan semua kalangan harus diberikan akses untuk mendapatkannya, merasakan kelas-kelas formal dan dididik oleh guru professional.

Namun, apakah di Indonesia hari ini penyelenggaraan sekolah atau perguruan tinggi dapat diakses oleh semua masyarakat? Khususnya masyarakat miskin dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan? Saya ragu, karena adik saya hanya mampu sekolah sampai dia lulus SMA saja dengan alasan tidak ada biaya untuk sekolah urangkampoeng.com di tingkat perguruan tinggi.

Pendidikan bukan untuk dijual!

Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, mengatakan bahwa pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Artinya sangat jelas, bahwa pendidikan di Indonesia hari ini diibaratkan sebuah komoditas perdagangan dan ladang untuk mendapatkan pundi-pundi keuntungan, karena logikanya orang waras mana yang tidak paham dengan makna ‘penanaman modal’?
Hari ini bisa kita rasakan dengan mahalnya biaya pendidikan di tingkat SMA/SMK dan khususnya perguruan tinggi ketika masa-masa pendaftaran. Banyak mahasiswa baru yang tidak mampu membayar uang pendaftaran karena tingginya biaya sehingga gagal untuk melanjutkan kuliah.

Di sekitar kita mungkin akan banyak yang mengatakan “kan ada beasiswa ini, beasiswa itu, pemotongan biaya ini, pemotongan biaya itu,..” dan lain sebagainya. Tidak salah memang, tetapi saya rasa pertanyaan mereka tetap akan terlihat pandir ketika dibenturkan dengan Perpres No. 77 Tahun 2007, ditambah kondisi hari ini yang memang membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat yang tidak lanjut kuliah beralasan masalah finansial.

Kebetulan kampus saya bersebelahan dengan sebuah terminal. Ketika saya naik bus di terminal tersebut atau hanya sekadar melewati terminal tersebut, banyak anak-anak dengan usia sekolah yang menjadi pengamen di jam-jam sekolah atau ada juga yang menawarkan minuman dan makanan ke orang-orang di terminal tersebut.

Contoh lain bisa saya lihat di hampir semua titik lampu lalu lintas di kota tempat kampus saya berdiri.

Anak-anak remaja yang harusnya merasakan duduk di bangku sekolah formal, malah mencoba menghibur para pengendara yang sedang berhenti menggunakan lagu-lagu dan suara gitar mereka. Bagi mereka, urusan perut dan pendidikan merupakan pilihan yang tidak mampu didapat keduanya. Pemerintah hari ini seolah lupa dengan kalimat “Fakir Miskin dan Anak-anak telantar dipelihara oleh Negara”.

Keikutsertaan Indonesia dengan World Trade Organization (WTO) berdampak besar terhadap komersialisasi pendidikan di negeri ini. Di bawah kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS), WTO telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa, berdampingan dengan kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang melimpah. Salah satu misi WTO membuahkan hasil pada tahun 2001 ketika pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa GATS dari WTO, di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kondisi ini tentu akan membuat pendidikan menjadi sebuah barang mewah bagi masyarakat kelas bawah. Kantong mereka dihisab dengan alasan pendidikan di sebuah negara yang salah satu cita-citanya ialah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Pola pendidikan yang liberalis tentu akan mempengaruhi paradigma bahwa pelajar merupakan calon-calon tenaga kerja potensial yang berorientasi pada pasar kapitalistik. Para investor dan negara tentu akan berharap produk manusia yang berasal dari sekolah-sekolah formal nantinya akan siap berkorban demi untungnya pasar-pasar mereka.

Pendidikan hari ini yang berorientasi pada industri melupakan hakikat dari pendidikan itu sendiri. Liberalisasi pendidikan membuat para pelajar lupa, bahwa pendidikan harusnya mampu membuat manusia menjadi ibu dari manusia lainnya, pendidikan bukan hanya soal uang namun pendidikan merupakan alat perjuangan.

Baca juga: Menghindari Plagiarisme dalam Dunia Pendidikan

Hari Pelajar Internasional dan makna di baliknya

Dalam rangka memperingati Hari Pelajar Internasional nanti yang jatuh pada tanggal 17 November, tentu harus kita jadikan momentum tersebut untuk kembali mengingat makna dari pelajar dan pendidikan itu sendiri.

Perjuangan para pelajar Ceko dalam menentang kediktatoran Adolf Hitler yang sangat represif dan ekspansif yang kemudian menginspirasi pecahnya Revolusi Cekoslovakia yang saat itu sosialis menjadi demokratis tentu membuktikan bahwa betapa besar pengaruh pelajar terhadap kondisi sosial tertentu.

Tinggal bagaimana negara membentuk para pelajar tersebut dan bagaimana para pelajar tersebut berpikir.